Sub marga Girsang
Quote:Originally Posted by wiltom83 Omtatok,mohon pencerahan ttg sejarah terbentuknya marga Girsang yang di Simalungun,saya pada tgl 28 Januari 2008 dimargakan ke Girsang ketika nikah dengan istri saya boru Sipayung di Saribudolok,Simalungun..Lalu gimana bisa terbentuknya kampung Girsang Sipanganbolon?Diatei Tupa ma---------------------------------------------------------Horas sanina Kebetulan saya marga girsang mungkin sedikit penuturan tentangmarga girsang Sbb..ada pun asal usul marga kami datang nya dari pak-pak tepat nya di bukit lehu. nama oppung kami itu di kenal datu raja parulas atw biasa di sebut raja par ultop-ultop. yang mana akhir nya dia masuk ke simalungun -tepat nya nagasaribu. dan di naga saribu mendirikan kerajaan yaitu kerajaan silimakuta yang mana pusat atw pematang nya ada di nagasaribuada pun sub marga girsang sbb :girsang jabu bolon yang menjadi rajagirsang na godang ( tuan anggi )girsang parharagirsang rumah parikgirsang bona gondangdan masih ada lagi sub sub marga dari girsang ini cuma saya takutsalah2 urutan nyaseperti girsang silangit yng menjadi tarigan silangit atw purba silangitgirsang rumah jojonggirsang rumah horbodan ada sampe 10 tapi saya lupananti saya minta dulu ma bapak saya yah..muda2 an berguna bagi2 kita-kita yang memerlukan silsah marga nyaHoras… Habonaron do Bonasumber : kaskus - http://www.kaskus.us/showthread.php?p=38960007
Diposkan oleh Girsang di 21:17 0 komentar
Reaksi:
Mau Kemana Girsang?
Ditulis oleh sevilla99 di/pada Januari 28, 2009Walaupun secara resmi diakui bahwa Girsang berasal dari Lehu-Pakpak Dairi bahkan ada mempunyai Tugu Girsang di sana namun Girsang lebih dikenal sebagai bagian dari Simalungun dan Karo yaitu Purba Girsang di Simalungun dan Tarigan Gersang di Tanah Karo.Seiring dengan makin banyaknya keturunan dari marga Girsang ini maka makin banyak juga pemikiran dari keturunan Girsang saat ini yang menginginkan lepas atau menanggalkan marga di depan mereka yaitu Purba di Simalungun dan Tarigan di Karo.Diceritakan bahwa Girsang bersaudara dengan Parultop yang kemudian berhasil mengalahkan Raja Purba saat itu yang bermarga Purba Dasuha lalu Parultop diangkat menjadi Raja Purba dan bahkan diberi marga Purba dan kemudian membentuk cabang marga Purba Pakpak yang masih eksis saat ini dengan jumlah keturunan yang cukup banyak.Girsang yang merupakan adik dari Parultop kemudian menyusul abangnya ke Simalungun dan kemudian beranak pinak di Simalungun dan salah satu keturunannya menjadi menantu dari Raja Sinaga yang berkuasa di Silimakuta.Ketika dalam tekanan lawan dan hampir kalah maka muncullah si menantu bermarga Girsang ini berhasil membunuh hingga seribu orang musuh (asal nama “saribudolok”?) sehingga sesuai janji Raja Sinaga itu untuk menyerahkan kekuasaannya di Silimakuta kepada Girsang untuk menjadi Raja Silimakuta dan Raja Sinaga tersebut kembali ke Tanah Jawa.Makanya tidak heran jika banyak ditemukan banyak orang bermarga Girsang di Silimakuta,termasuk Kela dari Indah juga bermarga Girsang sehingga saya pun dimargakan ke marga Girsang ini sebelum menikahi gadis boru Sipayung itu.Ketika saya dimargakan di Saribudolok itu mmg banyak dari saudara-saudara pemilik marga Girsang itu yang berkali-kali mengingatkan pada saya bahwa saya dimargakan ke Girsang bukan ke Purba Girsang alias sekali Girsang tetaplah Girsang bukan Purba Girsang.Pada perkembangan saat ini semakin banyak yang “mengkhianati” hubungan persaudaraan dalam Harungguan Purba Simalungun yang telah tercipta berabad-abad antara Purba Girsang dan Purba Pakpak dengan Purba Siboro,Purba Sigumonrong,Purba Tambak,Purba Dasuha,Purba Tamsar dan masih banyak Purba Simalungun yang lain.Purba Girsang dan Purba Pakpak dianggap sebagai sanina dari Purba Simalungun lainnya dalam ikatan Harungguan Purba.Lucunya jika Girsang kini menyangkali Ke-Purba-an mereka namun Purba Pakpak tetap setia pada Harungguan Purba Simalungun,sedangkan Girsang telah mengambil langkah terlalu jauh dengan menolak menjadi bagian dari Harungguan Purba Simalungun,lalu menolak bagian dari Toga Simamora (dalam hal ini saya juga setuju) dan kemudian menyatakan bahwa Girsang adalah bagian dari Toga Sihombing yang ber-sanina dengan marga Sihombing,Nababan,Silaban dan Hutasoit…Dengan sikap menolak,penyangkalan dan seakan-akan membalas air susu dengan air tuba kepada Harungguan Purba Simalungun nantinya malah akan menjadi bumerang bagi keturunan marga Girsang nantinya karena tentunya ada yang terluka di dalam penyangkalan Girsang kepada Harungguan Purba ini.Perlu rasanya para petinggi,senior atau yang dituakan dalam keluarga besar Girsang perlu duduk bersama dengan para petinggi Harungguan Purba Simalungun untuk membicarakan mau kemana Girsang sekarang ditempatkan..apakah masih mau bersama-sama dalam Harungguan Purba Simalungun atau mau keluar dari Harungguan Purba Simalungun.sumber :http://sevilla99.wordpress.com/2009/01/28/mau-kemana-girsang/
Diposkan oleh Girsang di 21:13 0 komentar
Reaksi:
Benarkah marga girsang bukan cabang dari marga purba?
(Artikel berikut dikutip dari Berita Simalungun) "Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan hal yang terlarang menurut adat...!" Oleh : Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh Pengantar Asisten Residen Simalungun dalam karya klasiknya, Simeloengoen menulis bahwa pada dasarnya di Simalungun sejak zaman dahulu kala hanya ada empat marga di Simalungun, yakni marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur). Dan memang dari karya-karya klasik penulis-penulis Belanda, baik Tideman maupun Tichelman sebagai pejabat kolonial Belanda selalu menulis Purba Girsang. Yang kita pertanyakan, sejak kapan penulisan dengan "Girsang" tanpa "Purba" itu dimulai? Asumsi saya berdasarkan perbincangan dengan tokoh-tokoh Simalungun dan para orangtua Simalungun, penulisan marga Girsang tanpa Purba itu masih baru, belum sampai seratus tahun. Pada waktu penulis bertugas di Sekretariat J-100 di Jakarta dalam rangka penulisan sejarah GKPS tahun 2003 kemarin, penulis berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh marga Girsang yang dengan marahnya menolak ucapan saya yang mengatakan Girsang itu merupakan sub sib atau cabang dari marga Purba. Beliau dengan marahnya mengatakan, "Girsang adalah Girsang bukan Purba, kami marga Girsang bukan masuk cabang marga Purba tetapi masuk ke cabang marga Sihombing Lumbantoruan." Dan memang Bapak Brigjend TNI (Purn) Djorali Purba Dasuha sebagai Ketua Umum Harungguan Purba se-Jabotabek menginformasikan kepada penulis bahwa dari 24 cabang marga Purba Simalungun yang mengaku berasal dari Simalungun, marga Girsang akhirnya keluar dari perkumpulan marga Purba Simalungun tersebut karena ngotot tidak mengakui Girsang bercabang dari induk marga Purba Simalungun. Berangkat dari persoalan di atas, timbul pertanyaan di kalangan kaum muda - kalau benar marga Girsang bukan masuk Purba, berarti marga "Girsang" itu tidak sama dengan Purba, dan karena menurut mereka, Girsang berketurunan dari marga Sihombing Lumbantoruan berarti Girsang merupakan cabang dari marga etnis Batak Toba. Dan jika memang benar bukan cabang dari marga Purba mengingat Hukum Adat Perkawinan Simalungun hanya melarang perkawinan "nasamorga" berarti, karena Girsang dan Purba merupakan dua margayang berbeda, maka tidak ada larangan lagi menurut adat yang menghalangi perkawianan antara marga Girsang dengan marga Purba, karena yang dilarang menurut adat perkawinan Simalungun adalah kawin semarga karena dianggap masih satu keturunan dari nenek moyang yang sama. Polemik asal marga Girsang Tideman dalam karya, Simelongoen menuliskan, bahwa Si Girsang yang merupakan leluhur dari raja Silimakuta yang menggantikan mertuanya tuan Nagasaribu bermarga Sinaga berasal dari Lehu Sidikalang Pakpak Dairi. Dari silsilah raja Silimakuta diperkirakan ketibaan Girsang di Naga Mariah diperhitungkan sekiar pertengahan abad XVIII. Sedang pengangkatan Naga Saribu menjadi kerajaan barulah sejak tahun 1907 dengan nama Kerajaan Silimakuta. Di sini saya kutip uraian Tideman dalam bukunya Simelongoen tentang asal-usul raja Silimakuta : "Raja yang pertama berasal dari Lehu(Sidikalang Pakpak Dairi) bernama Si Girsang. Ketika ia berburu sampailah ia ke Tanduk Banua (Sipiso- piso). Di sana tiba-tiba dijumpainya Horbo Jagat (kerbau bulai) dan menyangka di sekitarnya ada kampung. Ia lalu memanjat pohon tinggi dan melihat ada kampung besar merga Sinaga bernama Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika Tuhan Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika, Tuhan Naga Mariah terancam musuh dari Siantar yang sedang berkemah di Paya Siantar dekat kaki Gunung Singgalang. Tuhan Naga Mariah mengharapkan bantuan dari Si Girsang mengusir musuh. Si Girsang menyuruh penduduk mengumpulkan sebanyak mungkin bermacam- macam duri dan diambilnya cendawan merah, diperasnya dalam air, racunnya diletakkannya pada duri-duri dan diletakkan di sepanjang jalan yang bakal dilalui musuh., sedangkan air yang beracun itu dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Musuh oleh karena itu semuanya mati kena racun.Ia melapor kepada Tuhan Naga Mariah dan berkata, "Nunga mate marsinggalang saribu di dolok i!" (beribu-ribu musuh sudah mati bergelimpangan di gunung itu), sehingga gunung itu dinamakan Dolok Singgalang dan namanya Saribu Dolok. Si Girsang lalu kawin dengan puteri dari Tuhan Naga Mariah dan karena ahli mencampur racun dinamai Datu Parulas. Setelah raja itu mati maka Datu Parulas ini naik tahta dan mendirikan kampungnya Naga Saribu yang menjadi ibukota. Kerajaannya dinamainya Si Lima Kuta karena dalam kerajaannya ada lima kampung yaitu: Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Nagamariah. Setiap puteranya menjadi tuhan di Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Naga Mariah. Kemudian lahir lagi dua putera,yang tertua mendirikan kampung Janji Malasang dan mendirikan kerajaan kecilbenama Bage. Yang bungsu menggantikan Datu Parulas. Baru di tahun 1903 Kerajaan Bage tunduk di bawah Kerajaan Silimakuta." Bagaimana dengan Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar? Dari tulisan Tideman tersebut dapat dismpulkan, bahwa Si Girsang tidak diketahu bermarga apa, yang jelas, namanya Si Girsang. Jadi kalau ada kalangan marga Girsang yang mengatakan Girsang bukan cabang dari marga Purba, ini dapat diterima, karena itu adalah hak yang bersangkutan. Namun yang perlu dipertanyakan lagi, menurut Tideman - tentunya ia mencatat informasi dari kalangan raja Silima Kuta - asal dari pemburu Si Girsang dari Lehu di dekat Sidikalang (afkomstig Lehu Pakpak Dairi). Di sana Tideman menulis "afkomstig" = berasal dari, jadi belum tentu "berketurunan" dari penduduk asli Lehu yang Etnis Pakpak,boleh jadi ia hanya singgah di sana dan seterusnya mengembara ke Simalungun. St. Djaidin Girsang dalam tulisannya tentang "Kisah Si Girsang Parultop- ultop Jadi Raja Silimakuta" (Medan, 1995:123-124) menulis (terjemahan bahasa Simalungun dialek Silimakuta), "Konon menurut cerita turun temurun, kelahiran Si Girsang ditengarai masalah di kalangan orang ramai, ini disebabkan kelahiran Si Girsang yang tidak lazim (marbalutan) tidak seperti biasanya. Tanggapan khalayak simpang siur dan masing-masing membuat tanggapannya sendiri, ada yang mengatakan "anak panunda" bayi yang baru lahir ini, ada yang mengatakan anak keramat, ada yang mengatakan anak sial dan lain-lain. Demikianlah tanggapan banyak orang, dan ada lagi yang mengatakan, "tidak patut anak ini dibiarkan hidup....; jadi timbullah usul orang ramai agar bayi tersebut dibunuh agar jangan mendatangkan kesialan pada seisi kampung. Ibu Si Girsang adalah perempuan dari Lottung Sinaga, ia sangat masygul melahirkan Si Girsang, jadi disembunyikanlah Si Girsang di luar kampung agar dapat dipantau ibunya siang dan malam, tidak tega hatinya membiarkan anaknya dibunuh...setelah itu dinamailah ia Si Girsang mengingatpenderitaannya itu." Dari beberapa sumber di atas disimpulkan, bahwa bayi yang disembunyikan oleh ibunya itu berasal dari keluarga biasa (rakyat kebanyakan) karena disebut sebagai "penghuni kampung" (berbeda dengan leluhur raja-raja Simalungun yang seluruhnya berasal dari kalangan bangsawan); uraian Djaidin Girsang juga tidak menyebut Si Girsang berketurunan dari kalangan raja. Biasanya panglima-panglima perang (raja goraha) raja Nagur (kerajaan tertua di Sumatera Timur) yang kemudian menjadi raja di Simalungun adalah kawin dengan panakboru (puteri raja) dari raja Nagur bermarga Damanik, seperti raja Tanoh Djawa (Sinaga), Silou (Purba Tambak), Panei (Purba Dasuha), tetapi Si Girsang tidak demikian. Setelah dewasa menurut uraian St. Djaidin Girsang ia kawin dengan puteri Tuhan Naga Mariah bermarga Sinaga yang kemudian "terusir" dari Naga Mariah dan sebagian keturunannya pindah ke Karo (Batu Karang) dan Girsang Sipangan Bolon Parapat. Ini membuktikan kenyataan sejarah kalau Si Girsang adalah pendatang dari luar Simalungun - dan bukan rakyat Nagur pada mulanya. Kerajaan Nagur dengan daerah vasalnya Kerajaan Dolog Silou masih berkuasa atas Purba, Raya dan Nagasaribu, karena status ketiganya adalah "partuanan banggal" Kerajaan Dolog Silou sebelum ditingkatkan menjadi "landschap" pada zaman Belanda sejak 1907 (Korte Verklaring). Jadi kalau dirunut dari jalan sejarah di atas, keberadaan marga Girsang di Silimahuta (kecuali di partuanan Dolog Batu Nanggar-Panei) Simalungun masih baru; sekitar pertengahan abad XVIII. Dan jika dilihat dari penolakan marga Girsang yang tidak mengakui Girsang merupakan cabang marga Purba (khususnya yang berasal dari Silimakuta), cukup menegaskan kenyataan sejarah kalau Si Girsang yang menurunkan marga Girsang di Silimakuta baru sejak zaman Belanda atau tepatnya pada tahun 1907 berstatus kerajaan di Silimakuta dan bukan seketurunan dengan marga Purba Tambak yang menurunkan raja-raja Silou, Panei dan Dolog Batu Nanggar (Purba Tambak, Purba Sigumonrong, Purba Sidasuha, Purba Sidadolog, Purba Sidagambir, Purba Siboro, Purba Tanjung dan Purba Girsang). Yang membingungkan lagi dalam Pusataha Parpandanan Na Bolag yang menceritakan sejarah perpecahan Kerajaan Nagur di abad XIV, ada disebut-sebut nama tokoh Si Girsang Doriangin. Demikian pula di sejarah Kerajaan Dolog Silou ada disebut Si Juhar marga Purba Girsang yang menurunkan marga Purba Girsang keturunan Tuan Badja Purba Girsang tuan Dolog Batu Nanggar (Saribulawan). Mengingat marga Girsang di Nagamariah baru ada di pertengahan abad XVIII sedangkan marga Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar sudah ada setidaknya di abad XV yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Dolog Silou; apakah tidak tertutup kemungkinannya jika Si Girsang yang berangkat dari Lehu menuju Nagamariah adalah cucu buyut dari Tuan Partanja Batu Purba Girsang dari Dolog Batu Nanggar sebagaimana uraian TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun ? Atau alternatif kedua, Si Girsang merupakan "pendatang baru" yang bukan kerketurunan dari Tuan Dolog Batu Nanggar? Dugaan penulis makin kuat karena pada saat penulis bertugas di GKPS Resort Sumbul, dalam suatu kesempatan hal ini pernah penulis tanyakan kepada serang pengetua adat Pakpak (pertaki) bermarga Solin, pada saat mana sedang gencar-gencarnya pembangunan Tugu Girsang di Lehu. Beliau menjelaskan kepada penulis, bahwa sepengetahuannya, Girsang itu bukan marga Etnis Pakpak, dan tanah lokasi pembangunan tugu itu sendiri bukan tanah adat marga Pakpak, tetapi tanah adat marga Batanghari dari etnis Pakpak yang dibeli oleh marga Girsang dari Saribudolok. Jadi Girsang bukan "marsanina" dengan Purba? Meminjam ungkapan budayawan Simalungun Pak Mansen Purba, SH dalam bukunya "Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun" yang mengatakan, "seng dong hinan batta Simalungun, parsaninaon halani nasamorga, tapi halani na sahasusuran do. Age pe dos morga, lape tottu ai na sahasusuran. Aima ase dong panggoranion i pudini morga in, tanda ni na sada hasusuran ope." Jelasnya menurut beliau, di Simalungun "marsanina" bukan karena "satu marga" atau dari marga yang sama, tetapi dilihat dari sejarah asal-usulnya. Kalau dari seketurunan nenek moyang yang sama, maka disebut "marsanina" kalau sebaliknya, biar marganya sama, kalau masing-masing tidak mengakui nenek maoyangnya seketurunan, maka jelas bukan "marsanina". Jadi berdasarkan rumusan ini, maka di antara marga Purba yang dapat disebut 'marsanina" adalah keturunan dari raja-raja Silou dan Panei dengan partuanan- partuanannya, seperti Purba Tambak (raja Dolog Silou), Purba Sigumonrong (Tuan Lokkung), Sidasuha (raja Panei), Sidadolog (Tuan Sinaman), Sidagambir (Tuan Raja i Huta), Tanjung (Tuan Tanjung Purba), Siboro (Tuan Siboro) dan Girsang (Tuan Dolog Batu Nanggar). Karena seluruh cabang marga Purba ini menurut Pustaha Bandar Hanopan berasal dari nenek moyang yang sama Tuan Djigou Purba dari Tambak Bawang yang datangdari Gayo (Aceh) atau dari Pagarruyung. Dan kalau raja Silimakuta yang merupakan keturunan dari Si Girsang dari Lehu itu di pertengahan abad ke-18 masuk ke Naga Mariah mengaku bukan bercabang dari marga Purba, kalau demikian ia bukanlah suku Simalungun, karena sejak zaman dahulu suku Simalungun terdiri dari empat cabang marga saja, yakni Sinaga Saragih, Damanik dan Purba. Dan memang baik Tuan Dolog Batu Nanggar bermarga Purba Girsang dan saninanya raja Panei bermarga Purba Dasuha masing-masing mengambil permaisuri dari puteri raja Siantar bermarga Damanik, sementara kita lihat di Silimakuta permaisuri Silimakuta bukan dari Siantar, tetapi dari Tongging bermarga Munthe.Ini merupakan suatu fakta yang patut dipertimbangkan dalam memutuskan apakah memang Purba Girsang di Silimakuta dan Dolog Batu Nanggar itu dari keturunan nenek moyang yang samakah atau berbeda? Penutup Penulis memang sadar kalau tulisan ini akan menimbulkan kontroversial di kalangan etnis Simalungun, khususya di kalangan marga Girsang dan Purba Simalungun. Tetapi mengingat falsafah etnik Simalungun "Habonaron do Bona" ini layak untuk dituntaskan oleh pengetua adat Simalungun. Jangan sampai akibat pengakuan marga Girsang ini menyebabkan kegalauan di kalangan generasi muda Simalungun. Dan kalau memang Girsang tetap ngotot tidak mengakui dirinya bercabang dari marga induk Purba Simalungun, agar kelar dan tidak menimbulkan kesimpang siuran di tengah-tengah masyarakat, alangkah bijaknya, apabila hal ini dibahas dengan melibatkan para sejarawan, apakah benar "Girsang bukan cabang dari marga Purba?" Kalau memang benar, sepantasnyalah diumumkan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan lagi sesuatu hal yang terlarang menurut adat Simalungun. Karena yang dilarang menurut adat adalah "mardawan begu" atau saling kawin mawin dengan pasangan yang semarga. Sehingga kedudukan marga Girsang di Simalungun jelas, dan para kaum muda yang ingin mencari pasangan hidupnya juga tidak ragu-ragu. Semoga bermanfaat. Penulis adalah seorang pendeta GKPS bermarga Purba tinggal di Tepian Danau Toba Tongging-Taneh Karo Simalem baca selengkapnya: http://groups.google.com.pe/group/lumbantoruan/browse_thread/thread/5ae1aa480f12463a